Rabu, 05 Maret 2014

Jangan bilang 'pass away' !!!

Diposting oleh Unknown di 07.29


11 Juni 2013

Kita bertemu di tempat favorit kita, sebuah kedai ice cream. Malam itu aku yang memulai suasana menjadi kacau dan entah hal apa yang mendorongmu menyampaikan suatu wasiat jika kau mati nanti, kau mewariskan namamu untuk nama anakku nanti. Terkejut aku mendengarnya. Namun aku tidak ingin merubah suasana menjadi lebih haru, aku lagi egois saat itu. Aku tunjukkan padamu bahwa aku tidak peduli dengan wasiatmu itu. Aku pun masih kuliah, belum berencana menikah, apalagi punya anak. Suasana hatiku lagi rumit dan berharap kau tidak menambahnya. Jam menunjukkan pukul 21.00, aku ingin segera pulang karena sudah malam, apalagi besok aku ada jadwal ke luar kota untuk menyelesaikan sebuah urusan akademik kuliah yang sangat penting. Walaupun kita tidak satu kendaraan, kau minta untuk mengantarku pulang. Jujur, sekalipun saat itu aku terlihat tidak peduli dengan perkataanmu yang sepertinya akan mati, tapi sebenarnya pikiranku terganggu. Selama perjalanan pulang, aku sesekali menengok ke belakang, memastikan kau masih di belakangku dan baik-baik saja. Rumahku semakin dekat, aku melambaikan tangan ke belakang. Aku melihatmu dari kaca spion, kau semakin pelan. Dinginnya malam itu dipenuhi kabut, bayanganmu hilang diantara kabut-kabut itu. Aku tidak bisa melihatmu lagi. Sesampainya di rumah, aku menunggumu. Menunggu kau mengirimkan pesan singkat untukku. Kulihat terus telepon genggamku, aku menunggu sampai larut. Kau masih tidak ada kabar. Aku berusaha menelpon, namun nomormu tidak aktif. Resah, semakin buruk saja suasana hatiku.


12 Juni 2013

Jam menunjukkan pukul 00.30 pagi. Aku masih berkutat dengan telepon genggamku. Aku menelponmu setiap menit hingga ratusan kali aku menelponmu, masih tidak aktif juga. Aku mulai tidak kuasa lagi, aku menangis. Mungkin kau pergi, pergi untuk selamanya. Tapi aku masih tidak percaya, aku akan terus menelponmu sampai pagi. Sudah seperti orang gila, pukul 02.00 pagi aku berlari ke teras rumah, seolah kau datang untukku. Namun itu hanya imajinasiku saja, sungguh tidak warasnya aku saat itu. Aku masih menangis, aku masih menunggumu, jangan pergi. Ya, aku tidak berputus asa. Walaupun jam 8 pagi nanti aku akan pergi ke luar kota, aku tidak peduli sekalipun malam itu aku tidak tidur. Kuabaikan kesehatanku demi menuruti kemauan hatiku untukmu. Tiba-tiba saja aku berencana untuk datang ke rumahmu, tapi tidak mungkin dengan segera. Aku harus menunggu sampai matahari terbit. Rasanya tidak sabar menunggu matahari segera terbit, aku ingin ke rumahmu, menanyakan kepastian keadaanmu. Namun, trik apa yang harus aku lakukan agar orang tuamu tidak curiga dengan kedatanganku. Entahlah, itu urusan nanti. Tidak bisa otakku berpikir sampai kesitu, otakku masih kacau karena hatiku. 

Pagi.
Akhirnya, yang kutunggu-tunggu. Walaupun keretaku akan berangkat pukul 08.00 pagi. Jam 6 pun aku segera berangkat, mama pun bertanya melihat kejanggalan tingkah lakuku, aku berbelit dengan berbagai alasan. Lolos. Mama percaya dan aku segera berangkat dengan motorku. Walaupun dengan kondisi mata bengkak akibat menangis dan tidak tidur semalaman, aku melaju dengan kencang, tidak sabar ingin segera sampai rumahmu. Apa kau benar-benar meninggalkanku untuk selama-lamanya? Hah! Aku ingin ikut mati saja rasanya. Lupa. Tiba-tiba aku mengerem motorku. Apa yang bisa kujadikan alasan ke orang tuamu kenapa aku berkunjung pagi-pagi sekali. Aku tengok kanan kiri, kebetulan ada sebuah rumah yang menjual berbagai macam kue dan puding. Aku segera menghampirinya. Aku beli puding, nantinya aku akan menyampaikan pada ibumu, bahwa itu puding buatanku dan harus segera dimakan, oleh karena itu aku datang pagi-pagi. Ok. Segera berangkat lagi menuju rumahmu. Akhirnya sampai juga. Aku mengetuk pagar rumahmu, ibumu berlari dengan wajah yang sangat terkejut. Sebenarnya aku sangat tidak ingin melakukan hal ini apalagi berbohong. Tapi apa daya. Setelah puding dan kalimat bohongku ku sampaikan pada ibumu, ibumu percaya dan bilang padaku bahwa kau lagi shalat dhuha. Bersyukur sekali dan lega, ternyata kau masih hidup. Kau belum pergi dariku. Ibumu memintaku untuk masuk, aku menolaknya. Aku sudah cukup lega mendengar kau belum pergi selamanya. Tidak perlu bertemu dengan dirimu, mendengar kau masih hidup saja, sudah sangat cukup. Aku pun mulai bisa tersenyum. Aku pamit untuk segera pergi dari rumahmu dengan alasan takut ketinggalan kereta. Di tengah perjalanan dari rumahmu menuju stasiun, tiba-tiba ada yang mengganjal pikiranku. Aku masih takut kau mati. Mungkin bisa nanti. Tidak!!! Tiba-tiba aku ingin sekali bertemu dengan dirimu. Tapi, kalau aku kembali, apa kata orang tuamu. Baiklah, aku lanjut saja ke stasiun. 

Di stasiun aku terdiam. Kulihat jam, sebentar lagi keretanya datang. Rasanya tidak tenang sekali pergi dengan keadaan yang seperti ini. Tiba-tiba sesuatu membuatku nekad, aku berlari keluar stasiun menuju parkiran. Ku ambil motorku dan aku sudah tekad untuk menemuimu. Aku tidak peduli apa kata orang tuamu, aku ingin bertemu denganmu. Aku masih takut kau mati. Kencang sekali laju motorku saat itu. Sesampainya di rumahmu, aku pukul pagar rumahmu berkali-kali sambil mengucapkan salam. Rumahmu begitu sepi, tidak ada orang satupun. Seperti semua penghuninya tidak ada di rumah. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku udah merelakan ketinggalan kereta demi menemuimu. Tapi kau tidak ada. Kemana aku harus mencarimu. Nomormu masih tidak aktif. Aku tidak tahu lagi kemana kau pergi saat itu. 

Aku tetap mencarimu, karena perasaan khawatirku semakin menjadi-jadi. Mungkin kau pergi ke kampus. Ya, mungkin. Aku akan kesana mencarimu. Kampusmu letaknya cukup jauh dari rumahmu, mungkin butuh satu jam jika jalannya lancar. Karena aku akan menempuh perjalanan jauh, aku cek STNK dan SIM demi kewaspadaanku di jalan. Ternyata, aku lupa membawa STNK. Tidak peduli, aku tetap nekad pergi. Selama perjalanan aku berusaha mengingat-ingat kembali lokasi kampusmu. Sebenarnya aku tidak tahu arah jalan apalagi ke kampusmu. Berhasil, aku tersesat di kota besar itu. Sama sekali tidak tahu sedang dimana. Karena pikiranku panik, aku tidak sadar dengan keadaan bahan bakar motorku. Ya, aku kehabisan bensin. Complicated!!!   

Terik matahari membakar tubuhku saat itu. Aku terseok-seok mendorong motorku mencari penjual bensin terdekat. Rasanya ingin pingsan, aku belum tidur semalaman, aku belum makan, bahkan minum pun belum. Keringatku mulai bercucuran. Akhirnya kutemukan penjual bensin sambil aku bertanya letak kampusmu. Untunglah kampusmu adalah kampus ternama di kota itu, tidak sulit menanyakan pada orang-orang. Bapak penjual bensin menunjukkan arah-arahnya. Aku tancap lagi. Sesuai dengan petunjuk penjual bensin, aku sampai. Ternyata bukan, ini bukan kampusmu. Memang instansinya sama, tapi ini bukan gedung tempatmu berkuliah. Tidak mungkin aku berputus asa. Aku tanya lagi pada ibu-ibu, meyakinkan. Aku ikuti arahan ibu tersebut. Ya, kali ini berhasil. Sampai juga aku di kampusmu dengan 2,5 jam perjalanan, aku ingat gedungnya, untung saja kau pernah mengajakku kesana. Jadi aku tidak ragu untuk memastikan bahwa ini benar kampusmu. Segera aku masuk dengan motorku, aku pelan-pelan berharap melikatmu di sekitar situ. Aku tidak melihatmu, tapi aku melihat motor dan helmu di parkiran. Sangat yakin bahwa itu milikmu, aku hafal benda-benda kepunyaanmu. Aku senang sekali. Aku cepat-cepat ingin memparkir motorku, ternyata syarat parkir disitu harus dengan STNK. Aku bingung, tidak mungkin aku memparkir motorku sembarangan di daerah yang asing bagiku, bisa-bisa kena sanksi. Senjataku, aku berpura-pura pada penjaga parkiran, beralasan ini itu, akhirnya aku diperbolehkan parkir tanpa STNK. 

Setelah itu aku berlari menuju motormu, aku duduk di depan motormu. Aku tidak ingin meninggalkan motormu. Aku takut ketika aku lalai meninggalkan motormu, ternyata kau sudah pergi. Mencegah hal itu terjadi, aku pandangi terus motormu karena aku yakin entah kapan kau pasti datang mengambil motormu. Aku menunggu sambil kelaparan, aku tidak makan dan tidak minum sama sekali dengan keadaan mata yang berat. Ini perjuangan. Mataku mulai berkunang-kunang, sepertinya aku akan benar-benar pingsan. Aku berpikir, jika aku pingsan berarti aku tidak bisa menjaga motormu lagi, kalau kau tiba-tiba pergi dengan motormu tanpa sepengetahuanku, sia-sia saja. Baiklah, aku harus membeli sesuatu untuk bisa dimakan. Mungkin bentar saja tidak masalah. Aku berlari ke arah kantin yang tidak jauh dari parkiran, aku beli snack dan air mineral saja, segera aku kembali ke posisi semula. Untung saja motormu masih ada. Keadaanku terlematkan, aku tidak lagi berasa ingin pingsan, walaupun sebenarnya badanku sangat lemas. Aku menunggu berjam-jam. Membosankan dengan suasana hati yang tidak tenang. Kepalaku kusandarkan diantara kedua lututku yang kutekuk di depan dadaku, merasa cukup rileks. 

Tiba-tiba saja jantungku berdegub kencang, aku melihatmu berjalan melewatiku. Spontan aku tersenyum lebar sambil melihatmu. Kau melihatku hanya sekilas pandangan saja. Sepertinya kau tidak sadar bahwa aku disini. Kau duduk menyebelahiku, tapi kau masih belum sadar bahwa itu aku. Aku pun bergeser mendekatimu sambil menatap wajahmu dari samping, aku melirik tapi belum sadar juga bahwa itu aku. Aku jerih melihatmu, aku pukul kau dengan bukuku. Kau terhentak melihat ke arahku, tiba-tiba matamu melotot melihatku. Aku tersenyum melihatmu. Nampaknya kau masih belum percaya bahwa itu aku, kau mendekatkan pandanganmu ke wajahku, hingga dekat sekali. Aku tersenyum semakin lebar, kau mulai sadar bahwa cewek disampingmu adalah aku. Rasanya aku ingin memelukmu, tapi tidak mungkin di tengah keramaian apalagi di lingkungan kampus. Kau mengajakku untuk makan di kantin kampus, aku bercerita kekhawatiranku semenjak kau berkata akan mati. Aku menangis denganmu, aku lega. Entah apa yang kau rasakan saat itu. Aku tidak ingin kehilanganmu.
 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lucy's Living Room Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos