Rabu, 05 Maret 2014

Jangan bilang 'pass away' !!!

Diposting oleh Unknown di 07.29 0 komentar


11 Juni 2013

Kita bertemu di tempat favorit kita, sebuah kedai ice cream. Malam itu aku yang memulai suasana menjadi kacau dan entah hal apa yang mendorongmu menyampaikan suatu wasiat jika kau mati nanti, kau mewariskan namamu untuk nama anakku nanti. Terkejut aku mendengarnya. Namun aku tidak ingin merubah suasana menjadi lebih haru, aku lagi egois saat itu. Aku tunjukkan padamu bahwa aku tidak peduli dengan wasiatmu itu. Aku pun masih kuliah, belum berencana menikah, apalagi punya anak. Suasana hatiku lagi rumit dan berharap kau tidak menambahnya. Jam menunjukkan pukul 21.00, aku ingin segera pulang karena sudah malam, apalagi besok aku ada jadwal ke luar kota untuk menyelesaikan sebuah urusan akademik kuliah yang sangat penting. Walaupun kita tidak satu kendaraan, kau minta untuk mengantarku pulang. Jujur, sekalipun saat itu aku terlihat tidak peduli dengan perkataanmu yang sepertinya akan mati, tapi sebenarnya pikiranku terganggu. Selama perjalanan pulang, aku sesekali menengok ke belakang, memastikan kau masih di belakangku dan baik-baik saja. Rumahku semakin dekat, aku melambaikan tangan ke belakang. Aku melihatmu dari kaca spion, kau semakin pelan. Dinginnya malam itu dipenuhi kabut, bayanganmu hilang diantara kabut-kabut itu. Aku tidak bisa melihatmu lagi. Sesampainya di rumah, aku menunggumu. Menunggu kau mengirimkan pesan singkat untukku. Kulihat terus telepon genggamku, aku menunggu sampai larut. Kau masih tidak ada kabar. Aku berusaha menelpon, namun nomormu tidak aktif. Resah, semakin buruk saja suasana hatiku.


12 Juni 2013

Jam menunjukkan pukul 00.30 pagi. Aku masih berkutat dengan telepon genggamku. Aku menelponmu setiap menit hingga ratusan kali aku menelponmu, masih tidak aktif juga. Aku mulai tidak kuasa lagi, aku menangis. Mungkin kau pergi, pergi untuk selamanya. Tapi aku masih tidak percaya, aku akan terus menelponmu sampai pagi. Sudah seperti orang gila, pukul 02.00 pagi aku berlari ke teras rumah, seolah kau datang untukku. Namun itu hanya imajinasiku saja, sungguh tidak warasnya aku saat itu. Aku masih menangis, aku masih menunggumu, jangan pergi. Ya, aku tidak berputus asa. Walaupun jam 8 pagi nanti aku akan pergi ke luar kota, aku tidak peduli sekalipun malam itu aku tidak tidur. Kuabaikan kesehatanku demi menuruti kemauan hatiku untukmu. Tiba-tiba saja aku berencana untuk datang ke rumahmu, tapi tidak mungkin dengan segera. Aku harus menunggu sampai matahari terbit. Rasanya tidak sabar menunggu matahari segera terbit, aku ingin ke rumahmu, menanyakan kepastian keadaanmu. Namun, trik apa yang harus aku lakukan agar orang tuamu tidak curiga dengan kedatanganku. Entahlah, itu urusan nanti. Tidak bisa otakku berpikir sampai kesitu, otakku masih kacau karena hatiku. 

Pagi.
Akhirnya, yang kutunggu-tunggu. Walaupun keretaku akan berangkat pukul 08.00 pagi. Jam 6 pun aku segera berangkat, mama pun bertanya melihat kejanggalan tingkah lakuku, aku berbelit dengan berbagai alasan. Lolos. Mama percaya dan aku segera berangkat dengan motorku. Walaupun dengan kondisi mata bengkak akibat menangis dan tidak tidur semalaman, aku melaju dengan kencang, tidak sabar ingin segera sampai rumahmu. Apa kau benar-benar meninggalkanku untuk selama-lamanya? Hah! Aku ingin ikut mati saja rasanya. Lupa. Tiba-tiba aku mengerem motorku. Apa yang bisa kujadikan alasan ke orang tuamu kenapa aku berkunjung pagi-pagi sekali. Aku tengok kanan kiri, kebetulan ada sebuah rumah yang menjual berbagai macam kue dan puding. Aku segera menghampirinya. Aku beli puding, nantinya aku akan menyampaikan pada ibumu, bahwa itu puding buatanku dan harus segera dimakan, oleh karena itu aku datang pagi-pagi. Ok. Segera berangkat lagi menuju rumahmu. Akhirnya sampai juga. Aku mengetuk pagar rumahmu, ibumu berlari dengan wajah yang sangat terkejut. Sebenarnya aku sangat tidak ingin melakukan hal ini apalagi berbohong. Tapi apa daya. Setelah puding dan kalimat bohongku ku sampaikan pada ibumu, ibumu percaya dan bilang padaku bahwa kau lagi shalat dhuha. Bersyukur sekali dan lega, ternyata kau masih hidup. Kau belum pergi dariku. Ibumu memintaku untuk masuk, aku menolaknya. Aku sudah cukup lega mendengar kau belum pergi selamanya. Tidak perlu bertemu dengan dirimu, mendengar kau masih hidup saja, sudah sangat cukup. Aku pun mulai bisa tersenyum. Aku pamit untuk segera pergi dari rumahmu dengan alasan takut ketinggalan kereta. Di tengah perjalanan dari rumahmu menuju stasiun, tiba-tiba ada yang mengganjal pikiranku. Aku masih takut kau mati. Mungkin bisa nanti. Tidak!!! Tiba-tiba aku ingin sekali bertemu dengan dirimu. Tapi, kalau aku kembali, apa kata orang tuamu. Baiklah, aku lanjut saja ke stasiun. 

Di stasiun aku terdiam. Kulihat jam, sebentar lagi keretanya datang. Rasanya tidak tenang sekali pergi dengan keadaan yang seperti ini. Tiba-tiba sesuatu membuatku nekad, aku berlari keluar stasiun menuju parkiran. Ku ambil motorku dan aku sudah tekad untuk menemuimu. Aku tidak peduli apa kata orang tuamu, aku ingin bertemu denganmu. Aku masih takut kau mati. Kencang sekali laju motorku saat itu. Sesampainya di rumahmu, aku pukul pagar rumahmu berkali-kali sambil mengucapkan salam. Rumahmu begitu sepi, tidak ada orang satupun. Seperti semua penghuninya tidak ada di rumah. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku udah merelakan ketinggalan kereta demi menemuimu. Tapi kau tidak ada. Kemana aku harus mencarimu. Nomormu masih tidak aktif. Aku tidak tahu lagi kemana kau pergi saat itu. 

Aku tetap mencarimu, karena perasaan khawatirku semakin menjadi-jadi. Mungkin kau pergi ke kampus. Ya, mungkin. Aku akan kesana mencarimu. Kampusmu letaknya cukup jauh dari rumahmu, mungkin butuh satu jam jika jalannya lancar. Karena aku akan menempuh perjalanan jauh, aku cek STNK dan SIM demi kewaspadaanku di jalan. Ternyata, aku lupa membawa STNK. Tidak peduli, aku tetap nekad pergi. Selama perjalanan aku berusaha mengingat-ingat kembali lokasi kampusmu. Sebenarnya aku tidak tahu arah jalan apalagi ke kampusmu. Berhasil, aku tersesat di kota besar itu. Sama sekali tidak tahu sedang dimana. Karena pikiranku panik, aku tidak sadar dengan keadaan bahan bakar motorku. Ya, aku kehabisan bensin. Complicated!!!   

Terik matahari membakar tubuhku saat itu. Aku terseok-seok mendorong motorku mencari penjual bensin terdekat. Rasanya ingin pingsan, aku belum tidur semalaman, aku belum makan, bahkan minum pun belum. Keringatku mulai bercucuran. Akhirnya kutemukan penjual bensin sambil aku bertanya letak kampusmu. Untunglah kampusmu adalah kampus ternama di kota itu, tidak sulit menanyakan pada orang-orang. Bapak penjual bensin menunjukkan arah-arahnya. Aku tancap lagi. Sesuai dengan petunjuk penjual bensin, aku sampai. Ternyata bukan, ini bukan kampusmu. Memang instansinya sama, tapi ini bukan gedung tempatmu berkuliah. Tidak mungkin aku berputus asa. Aku tanya lagi pada ibu-ibu, meyakinkan. Aku ikuti arahan ibu tersebut. Ya, kali ini berhasil. Sampai juga aku di kampusmu dengan 2,5 jam perjalanan, aku ingat gedungnya, untung saja kau pernah mengajakku kesana. Jadi aku tidak ragu untuk memastikan bahwa ini benar kampusmu. Segera aku masuk dengan motorku, aku pelan-pelan berharap melikatmu di sekitar situ. Aku tidak melihatmu, tapi aku melihat motor dan helmu di parkiran. Sangat yakin bahwa itu milikmu, aku hafal benda-benda kepunyaanmu. Aku senang sekali. Aku cepat-cepat ingin memparkir motorku, ternyata syarat parkir disitu harus dengan STNK. Aku bingung, tidak mungkin aku memparkir motorku sembarangan di daerah yang asing bagiku, bisa-bisa kena sanksi. Senjataku, aku berpura-pura pada penjaga parkiran, beralasan ini itu, akhirnya aku diperbolehkan parkir tanpa STNK. 

Setelah itu aku berlari menuju motormu, aku duduk di depan motormu. Aku tidak ingin meninggalkan motormu. Aku takut ketika aku lalai meninggalkan motormu, ternyata kau sudah pergi. Mencegah hal itu terjadi, aku pandangi terus motormu karena aku yakin entah kapan kau pasti datang mengambil motormu. Aku menunggu sambil kelaparan, aku tidak makan dan tidak minum sama sekali dengan keadaan mata yang berat. Ini perjuangan. Mataku mulai berkunang-kunang, sepertinya aku akan benar-benar pingsan. Aku berpikir, jika aku pingsan berarti aku tidak bisa menjaga motormu lagi, kalau kau tiba-tiba pergi dengan motormu tanpa sepengetahuanku, sia-sia saja. Baiklah, aku harus membeli sesuatu untuk bisa dimakan. Mungkin bentar saja tidak masalah. Aku berlari ke arah kantin yang tidak jauh dari parkiran, aku beli snack dan air mineral saja, segera aku kembali ke posisi semula. Untung saja motormu masih ada. Keadaanku terlematkan, aku tidak lagi berasa ingin pingsan, walaupun sebenarnya badanku sangat lemas. Aku menunggu berjam-jam. Membosankan dengan suasana hati yang tidak tenang. Kepalaku kusandarkan diantara kedua lututku yang kutekuk di depan dadaku, merasa cukup rileks. 

Tiba-tiba saja jantungku berdegub kencang, aku melihatmu berjalan melewatiku. Spontan aku tersenyum lebar sambil melihatmu. Kau melihatku hanya sekilas pandangan saja. Sepertinya kau tidak sadar bahwa aku disini. Kau duduk menyebelahiku, tapi kau masih belum sadar bahwa itu aku. Aku pun bergeser mendekatimu sambil menatap wajahmu dari samping, aku melirik tapi belum sadar juga bahwa itu aku. Aku jerih melihatmu, aku pukul kau dengan bukuku. Kau terhentak melihat ke arahku, tiba-tiba matamu melotot melihatku. Aku tersenyum melihatmu. Nampaknya kau masih belum percaya bahwa itu aku, kau mendekatkan pandanganmu ke wajahku, hingga dekat sekali. Aku tersenyum semakin lebar, kau mulai sadar bahwa cewek disampingmu adalah aku. Rasanya aku ingin memelukmu, tapi tidak mungkin di tengah keramaian apalagi di lingkungan kampus. Kau mengajakku untuk makan di kantin kampus, aku bercerita kekhawatiranku semenjak kau berkata akan mati. Aku menangis denganmu, aku lega. Entah apa yang kau rasakan saat itu. Aku tidak ingin kehilanganmu.
 

Selasa, 04 Maret 2014

Menunggu yang Dibenci, Kau Mendatangkannya

Diposting oleh Unknown di 06.23 0 komentar
Ada sebuah hubungan yang berjalan secara beriringan tanpa ada halangan, namun monoton. Ada pula yang penuh liku, terlihat atraktif dan seru, namun dipastikan tidak harmonis. Sebenarnya harus bagaimanakah sebuah hubungan yang ideal? Saya memutuskan tidak ada kata ideal yang diindikasikan untuk satu ukuran saja. Ideal akan menjadi arti sesungguhnya dan akan mempunyai makna yang berbeda tergantung dari persepsi setiap orang, kebutuhan akan kasih sayang setiap orang, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi. Dalam kamus saya "setiap individu pasti berbeda". Ya, saya akan memberikan sebuah paparan surat cinta dari seorang wanita bernama M untuk kekasihnya bernama P. Catatannya, M merasa hubungannya terasa sangat ideal ketika berbagai banyak masalah datang menghampiri hubungannya dengan P. Berikut adalah isi suratnya:

Hai cinta, kita berjalan sudah sangat lama. Aku dan kamu begitu berbeda. Aku yang paling menyadari perbedaan diantara kita, walaupun kau selalu mengatakan bahwa berbeda itu serasi. Bagiku tidak, sangat sulit dan teramat sulit menjalani hubungan denganmu yang sangat berbeda denganku. Pernahkah kau menghitung berapa kali aku berputus asa denganmu? Jika kau tanya balik padaku, aku pernah menghitung juga berapa kali kau pun pernah merasa putus asa denganku. Kalau tidak salah, sudah sebanyak dua kali kau berputus asa terhadapku. Aku pun lebih banyak darimu dan aku tidak pernah menghitungnya. 

Banyak sekali yang ingin aku sampaikan padamu selain kata-kata manis dari sebuah perasaan cinta, aku ingin menyampaikan betapa bencinya aku terhadap hubungan kita. Namun, aku tidak bisa berpisah denganmu, terlalu sulit. Aku percaya perasaan ini alami tanpa dibuat-buat atau bahkan dengan bantuan mantra dan sihir sekalipun, itu tidak mungkin. Kau tidak pernah memaksakan perasaanku, aku juga begitu. Namun kenapa kita bisa melalui hari-hari berdua selama tiga tahun lebih dengan pertengkaran hampir setiap hari. Ada kalanya kita berdua saling tertawa, namun sangat jarang. Aku yang paling romantis, sering aku kirimkan kata-kata indah atau lirik lagu cinta untukmu, kau membalas seadanya, tanpa dibuat-buat untuk melegakan hatiku, aku pun kecewa. Aku yang paling perhatian, pernah aku kirimkan parsel buah ke rumahmu saat aku tahu kakimu lecet karena kecelakaan kecil di jalan, namun malam itu kau memarahiku dan kau bilang aku lebay-berlebihan. Aku yang paling cerewet, mungkin kau bosan denganku yang sering sekali menuntut ini-itu, mengkritikmu, kau pun tidak pernah setuju denganku. 

Entah kenapa, rasanya sakit sekali ketika kecewa karenamu, ketika sedih karenamu, ketika capek denganmu. Jika aku tidak peduli denganmu, aku mudah sekali berpaling, aku punya banyak teman laki-laki, dan sebagian besar dari mereka pernah menyatakan perasaan cintanya padaku. Ingatkan? Aku sering sekali bercerita hal ini padamu, pasti kau sangat jenuh mendengarnya. Aku hanya berharap dari cerita-ceritaku tentang cowok-cowok itu, kau bisa menghargai aku lebih lagi. Sepertinya bukan itu jalannya. Dalam hati kecilku, aku menginginkan kau hidup bahagia denganku, nyatanya tidak. Sepertinya aku mulai gila dengan konsepku sendiri, aku ingin keadaannya terbalik, jika aku sering bercerita tentang cowok-cowok yang suka padaku, sekarang aku berharap ada cewek yang suka kamu karena belum pernah hal ini terjadi padamu selama denganku. Aku pun merasa ini akan berhasil membuatmu bahagia tanpaku, Dengan konsep itu, aku berjanji bahwa suatu saat nanti ketika ada seorang cewek yang menyatakan perasaannya padamu, aku minta kau melepaskanku dan kau berbahagialah dengannya. Maaf aku terlalu lelah denganmu. 

Hampir lupa dengan sebuah konsep yang gila, dengan renten waktu yang lama semenjak itu, akhirnya terjadi juga. Yang kutunggu namun paling kubenci, akhirnya kau menceritakan padaku tentang seorang teman cewekmu yang mengatakan cinta padamu. Ada perasaan lega, namun yang paling besar adalah benci. Sejujurnya, aku sangat kacau saat mendengarkan ceritamu. Aku ingin menangis saja, tapi aku berpura-pura tegar. Walaupun aku sendiri yang membuat janji itu, namun aku sangat tidak berharap hal itu terjadi, aku sudah gila. Saat itu juga aku memintamu untuk melepaskanku. Kau sangat marah. Kau bilang aku tega. Kau melepaskan pelukanku dan genggaman tanganku. Aku ingin meyakinkanmu bahwa hal itu demi kabahagiaanmu. Aku ingin kau bahagia dengan yang lain, bukan aku. Aku terlalu berat untukmu, aku pun merasa kau terlalu berat untukku. Bisa kah kau mengerti? Kau tidak ingin mengerti mauku saat itu. Katamu kau hanya ingin selalu denganku. Tanpa merasa bersalah, aku tidak pedulikan janjiku sendiri. Biar aku mengingkarinya, aku juga sebenarnya tidak ingin kita berpisah. Ya sudahlah, aku seperti buta, tuli, dan bisu. Tidak ingin pedulikan yang lain, hanya aku dan dirimu saat itu. Kilat sekali keputusanku, aku memutuskan bahwa aku denganmu saja dan kau cukup denganku saja, sampai nanti, sampai kita bertemu di surga nanti. Doaku untukmu. Seketika dengan semua perkara yang begitu kompleks, aku merasa sempurna denganmu. Kau juga terlihat sempurna di mataku. 

Cinta, aku menghargaimu sebagai kekasih hatiku. Aku ingin tahu, seperti apa aku di matamu. Saat aku menuliskan surat ini, segera juga aku mengirimkan pesan padamu untuk menanyakan hal itu. Dengan gayamu yang tanpa basa-basi, kau balas, "kn udah dulu... separuhnya popop :) ". Ya, aku berharap aku memang separuh darimu.

Je t'aime.

Psikologi Lintas Budaya : Psikologi Dan Budaya

Diposting oleh Unknown di 05.18 0 komentar

      A. Realita Pertemuan Budaya
Seiring semakin mengecilnya dunia akibat globalisasi kapitalisme dan perkembangan teknologi informasi, maka kemungkinan bertemunya antar orang-orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang tidak lagi harus secara real fisik melainkan dapat melalui media-media simbolik transmisioner semacam: telepon, televisi atau internet. Pertemuan yang tidak mungkin dihindari jika masih ingin exsist daripada mengambil pilihan lain yaitu menghindar (withdrawl) dan kemudian tertinggal lalu terpuruk pada akhirnya. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga pertemuan antar budaya. 

Akibatnya adalah persoalan benturan budaya semakin mengemuka. Persoalan yang tidak sekedar menuntut pemecahan melainkan lebih pada pemahaman dan kesadaran: akan keberagaman budaya yang membawa pada kemampuan; beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang luas, mengatasi konflik interpersonal, dan memenangkan globalisasi.
Diakui hubungan antar budaya adalah suatu tantangan besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya perbedaan-perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan dan kepastian akan kemungkinan mengalami konflik serta keharusan menerima perbedaan.  

B. Keberadaan Pendekatan Psikologi Lintas Budaya
Digabungkan dengan pengertian psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia maka pendekatan psikologi lintas budaya adalah sebuah cara pandang mengenai pemahaman kebenaran dan prinsip-prinsip perilaku manusia dalam sebuah kerangka lintas budaya. Sedangkan penelitian psikologi lintas budaya adalah penelitian mengenai perilaku manusia di mana membandingkan aspek-aspek psikologis yang menjadi ketertarikan penelitian pada berbagai budaya. Lebih sekedar mempelajari kesamaan dan perbedaan aspek-aspek psikologi manusia antar budaya, penelitian lintas budaya tidak membatasi diri pada studi-studi komparatif menggali prinsip universalitas (benar untuk semua orang dari semua budaya) atau pun culture-specific (benar untuk semua orang dari sebuah budaya) namun juga mengkaji mendalam suatu perilaku unik individu-individu dari khas suatu budaya (indigenous psikologi).

      C. Budaya : Konsep Dan Definisinya Secara Umum
Kata budaya digunakan dalam berbagai diskursus dan ini diakui dikarenakan luasnya aspek kehidupan yang disentuh. Murdock (1971) mendeskripsikan budaya dalam tujuh puluh sembilan ragam aspek kehidupan, yang oleh Berry (1980, dalam Berry, 1999) dikategorisasi ulang hingga dapat teringkas menjadi delapan aktifitas kehidupan. Kedelapan kategori tersebut adalah:
1.       Karakteristik umum
2.       Makanan dan Pakaian
3.       Rumah dan Teknologi
4.       Ekonomi dan Transportasi
5.       Aktifitas individual dan Keluarga
6.       Komunitas dan pemerintahan
7.       Kesejahteraan, religi, dan ilmu pengetahuan
8.       Seks dan lingkaran kehidupan (Matsumoto, 1996)

      D.  Budaya Dalam Psikologi Lintas Budaya
1.       Definisi Budaya dalam Psikologi Lintas Budaya
Sebuah definisi mengenai budaya yang disepakati bersama dalam konteks psikologi lintas budaya diperlukan guna pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud budaya dalam psikologi lintas budaya. Syarat dalam definisi ini adalah benar-benar menggambarkan sisi psikologi- mempelajari individu manusia sekaligus memenuhi semua aspek dari budaya itu sendiri sebagai konstruk sosial (milik kelompok).
Mendasarkan diskusi di atas maka pengertian budaya dapat disimpulkan sebagai seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang, namun demikian ada derajat perbedaan pada setiap individu, dan dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2.       Budaya Sebagai Konstruk Individu dan Konstruk sosial
Budaya adalah tak pernah lepas dari pengertian suatu kelompok individu. Ia merupakan kekhasan yang membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lain. Ketika kita berbicara mengenai orang Solo misalnya terlebih yang tinggal di region tersebut tampak memiliki kesamaan dalam karakter kepribadian, perilaku, dan nilai-nilai yang selama ini melalui konsensus dikatakan sebagai budaya Solo atau Jawa. Disini budaya berlaku sebagai suatu konstruk sosial.
Namun ada pula orang Solo yang kurang memahami atau hanya menerima sebagian saja nilai-nilai dari budaya Solo, meski asli keturunan dan tinggal di Solo. Perilaku dan pola pikirnya sangat berbeda dengan stereotype kita mengenai orang dan budaya Solo. Ia orangnya sangat asertif, materialistis, atau pun berpandangan egaliter terhadap orang tua hingga terkesan tidak mengenal sopan santun dan sama sekali tidak paham masalah pewayangan. Perbedaan-perbedaan individual dalam menyerap nilai budayanya ini menunjukkan bahwa budaya dapat berlaku sebagai suatu konstruk individual.

3.       Budaya versus Kepribadian
Pengertian yang menegaskan adanya perbedaan individual dalam budaya sering disalahpahami orang bahwa definisi yang diberikan di atas menjadikan pengertian budaya tampak tidak berbeda dengan pengertian kepribadian. Sebenarnya pengertian budaya yang diberikan sudah menjelaskan adanya perbedaan antara budaya dengan kepribadian dengan beberapa argumentasi berikut:
Pertama, bahwa budaya adalah atribut kelompok (conglomeration of attribute) yang dimiliki bersama oleh semua anggota kelompok budaya tersebut.
Kedua, adanya stabilitas eksistensi dari budaya sebagai hasil komunikasi dan transmisi dari satu generasi berikutnya – pola vertikal.
Ketiga, sebagai argumentasi yang menunjukkan perbedaan budaya dengan kepribadian adalah kenyataan bahwa budaya merupakan sebuah makro konsep.

4.       Relativitas dan Universalitas
Menurut pandangan relativitas, budaya dan fungsi-fungsi psikologi manusia saling mempengaruhi satu sama lain sehingga keduanya terus berkembang (culture and psyche make each other up). Hal ini menjadikan penjelasan tentang fungsi-fungsi psikologis manusia adalah berbeda dari satu budaya dengan budaya lain. Karenanya konsep mengenai penghayatan makna (meaning) menjadi begitu penting. Manusia bertindak menurut apa yang mereka lihat dan maknai. Guna mendapatkan pemahaman mengenai penghayatan subyektif kolektif ini, metode deskriptif dan interpretatif menjadi jalannya.
Sebaliknya, pandangan universal berangkat dari titik keyakinan bahwa fungsi-fungsi psikologis manusia adalah bagian tak terpisah sebagai sebuah organisme (psychic unity of human kind). Hal ini menjadikan segala proses dan fungsi psikologis manusia adalah universal, walaupun dalam manifestasinya (overt behavior) adalah berbeda antar budaya dan bahkan antar individu manusia. Guna mendapatkan pembuktian mengenai hal ini, studi-studi kuantitatif seperti eksperimen klasik Ekman (1973, dalam Matsumoto, 1994) mengenai universalitas emosi.

Referensi : Dayakisni, Tri. & Salis Y. 2012. Psikologi Lintas Budaya (edisi revisi). Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. 
 

Lucy's Living Room Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos