Selasa, 04 Maret 2014

Menunggu yang Dibenci, Kau Mendatangkannya

Diposting oleh Unknown di 06.23
Ada sebuah hubungan yang berjalan secara beriringan tanpa ada halangan, namun monoton. Ada pula yang penuh liku, terlihat atraktif dan seru, namun dipastikan tidak harmonis. Sebenarnya harus bagaimanakah sebuah hubungan yang ideal? Saya memutuskan tidak ada kata ideal yang diindikasikan untuk satu ukuran saja. Ideal akan menjadi arti sesungguhnya dan akan mempunyai makna yang berbeda tergantung dari persepsi setiap orang, kebutuhan akan kasih sayang setiap orang, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi. Dalam kamus saya "setiap individu pasti berbeda". Ya, saya akan memberikan sebuah paparan surat cinta dari seorang wanita bernama M untuk kekasihnya bernama P. Catatannya, M merasa hubungannya terasa sangat ideal ketika berbagai banyak masalah datang menghampiri hubungannya dengan P. Berikut adalah isi suratnya:

Hai cinta, kita berjalan sudah sangat lama. Aku dan kamu begitu berbeda. Aku yang paling menyadari perbedaan diantara kita, walaupun kau selalu mengatakan bahwa berbeda itu serasi. Bagiku tidak, sangat sulit dan teramat sulit menjalani hubungan denganmu yang sangat berbeda denganku. Pernahkah kau menghitung berapa kali aku berputus asa denganmu? Jika kau tanya balik padaku, aku pernah menghitung juga berapa kali kau pun pernah merasa putus asa denganku. Kalau tidak salah, sudah sebanyak dua kali kau berputus asa terhadapku. Aku pun lebih banyak darimu dan aku tidak pernah menghitungnya. 

Banyak sekali yang ingin aku sampaikan padamu selain kata-kata manis dari sebuah perasaan cinta, aku ingin menyampaikan betapa bencinya aku terhadap hubungan kita. Namun, aku tidak bisa berpisah denganmu, terlalu sulit. Aku percaya perasaan ini alami tanpa dibuat-buat atau bahkan dengan bantuan mantra dan sihir sekalipun, itu tidak mungkin. Kau tidak pernah memaksakan perasaanku, aku juga begitu. Namun kenapa kita bisa melalui hari-hari berdua selama tiga tahun lebih dengan pertengkaran hampir setiap hari. Ada kalanya kita berdua saling tertawa, namun sangat jarang. Aku yang paling romantis, sering aku kirimkan kata-kata indah atau lirik lagu cinta untukmu, kau membalas seadanya, tanpa dibuat-buat untuk melegakan hatiku, aku pun kecewa. Aku yang paling perhatian, pernah aku kirimkan parsel buah ke rumahmu saat aku tahu kakimu lecet karena kecelakaan kecil di jalan, namun malam itu kau memarahiku dan kau bilang aku lebay-berlebihan. Aku yang paling cerewet, mungkin kau bosan denganku yang sering sekali menuntut ini-itu, mengkritikmu, kau pun tidak pernah setuju denganku. 

Entah kenapa, rasanya sakit sekali ketika kecewa karenamu, ketika sedih karenamu, ketika capek denganmu. Jika aku tidak peduli denganmu, aku mudah sekali berpaling, aku punya banyak teman laki-laki, dan sebagian besar dari mereka pernah menyatakan perasaan cintanya padaku. Ingatkan? Aku sering sekali bercerita hal ini padamu, pasti kau sangat jenuh mendengarnya. Aku hanya berharap dari cerita-ceritaku tentang cowok-cowok itu, kau bisa menghargai aku lebih lagi. Sepertinya bukan itu jalannya. Dalam hati kecilku, aku menginginkan kau hidup bahagia denganku, nyatanya tidak. Sepertinya aku mulai gila dengan konsepku sendiri, aku ingin keadaannya terbalik, jika aku sering bercerita tentang cowok-cowok yang suka padaku, sekarang aku berharap ada cewek yang suka kamu karena belum pernah hal ini terjadi padamu selama denganku. Aku pun merasa ini akan berhasil membuatmu bahagia tanpaku, Dengan konsep itu, aku berjanji bahwa suatu saat nanti ketika ada seorang cewek yang menyatakan perasaannya padamu, aku minta kau melepaskanku dan kau berbahagialah dengannya. Maaf aku terlalu lelah denganmu. 

Hampir lupa dengan sebuah konsep yang gila, dengan renten waktu yang lama semenjak itu, akhirnya terjadi juga. Yang kutunggu namun paling kubenci, akhirnya kau menceritakan padaku tentang seorang teman cewekmu yang mengatakan cinta padamu. Ada perasaan lega, namun yang paling besar adalah benci. Sejujurnya, aku sangat kacau saat mendengarkan ceritamu. Aku ingin menangis saja, tapi aku berpura-pura tegar. Walaupun aku sendiri yang membuat janji itu, namun aku sangat tidak berharap hal itu terjadi, aku sudah gila. Saat itu juga aku memintamu untuk melepaskanku. Kau sangat marah. Kau bilang aku tega. Kau melepaskan pelukanku dan genggaman tanganku. Aku ingin meyakinkanmu bahwa hal itu demi kabahagiaanmu. Aku ingin kau bahagia dengan yang lain, bukan aku. Aku terlalu berat untukmu, aku pun merasa kau terlalu berat untukku. Bisa kah kau mengerti? Kau tidak ingin mengerti mauku saat itu. Katamu kau hanya ingin selalu denganku. Tanpa merasa bersalah, aku tidak pedulikan janjiku sendiri. Biar aku mengingkarinya, aku juga sebenarnya tidak ingin kita berpisah. Ya sudahlah, aku seperti buta, tuli, dan bisu. Tidak ingin pedulikan yang lain, hanya aku dan dirimu saat itu. Kilat sekali keputusanku, aku memutuskan bahwa aku denganmu saja dan kau cukup denganku saja, sampai nanti, sampai kita bertemu di surga nanti. Doaku untukmu. Seketika dengan semua perkara yang begitu kompleks, aku merasa sempurna denganmu. Kau juga terlihat sempurna di mataku. 

Cinta, aku menghargaimu sebagai kekasih hatiku. Aku ingin tahu, seperti apa aku di matamu. Saat aku menuliskan surat ini, segera juga aku mengirimkan pesan padamu untuk menanyakan hal itu. Dengan gayamu yang tanpa basa-basi, kau balas, "kn udah dulu... separuhnya popop :) ". Ya, aku berharap aku memang separuh darimu.

Je t'aime.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lucy's Living Room Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos